Kita pasti sudah sangat sering melihat orang tua yang memarahi anaknya ketika anaknya tidak mau menuruti perintahnya. Seakan orang tua tak peduli dengan psikologi anaknya ketika anaknya tersebut mendapat kemarahan berupa bentakan maupun hinaan. Orang tua seakan tidak pernah mau tahu apa dampak psikologi terhadap anaknya itu. Memang dengan memarahi anak, maka anak akan jerah, namun selain itu ada dampak lain yang perlu diwaspadai. Anak akan menjadi lebih nakal, bukan lebih menurut. Apalagi banyak orang tua yang menjadikan anaknya seakan seperti robot yang bisa disuruh-suruh tanpa melihat keadaan anaknya, bahkan orang tua sering memforsir anaknya berlebihan, melampaui batas kemampuan, baik secara jasmani (fisik) maupun secara rohani. Kadang juga ada orang tua yang menyuruh anaknya yang suruhannya masih belum waktunya (usianya). Misalnya Anak yang masih balita sering kali disuruh orang tua untuk belajar yang tidak sesuai dengan kapasitas, waktu belajar yang terlalu lama, padahal anak seusia itu seharusnya tidak disuruh belajar yang terlalu berat karena anak seusia itu masih ditekankan belajar sambil bermain. Masa itu masa dimana anak masih bermain-main. Dengan bermain-main itulah anak akan mendapat pengetahuan tentang lingkungannya. Anak akan mengenal lingkungannya.
Anak punya kapasitas sendiri. Sebagai orang tua sebaiknya orang tua tidak memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Biarkan anak mengembangkan apa yang menjadi kesukaan dan apa yang menjadi bakatnya. Orang tua hendaknya tidak memaksakan apa kehendaknya. Orang tua harus memahami apa yang menjadi bakat( potensi) anaknya. Disinilah peran penting orang tua, orang tua harus mampu memfasilitasi agar anaknya mampu mengembangkan potensinya dengan baik. Anak akan menjadi seoraang yang sukses jika orang tuanya berhasil menjadi fasilitator terbaik untuk anaknya.
Selain itu orang tua harus mampu mengawal anaknya agar anak mampu beranjak dengan kepribadian yang baik. Orang tua harus member contoh yang baik pada anaknya. Karena bagaimanapun sikap orang tuanya maka itu akan menjadi input bagi anak. Anak akan cenderung ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Disinilah orang tua yang sulit memposisikan dirinya sebagai pribadi yang baik. Banyak keburukan-keburukan kebiasaan orang tua yang sulit dihindari. Banyak orang tua yang egois yang tidak mau menghilangkan kebiasaan buruknya itu di depan anaknya. Orang tua biasanya menyuruh anaknya tidak melakukan kebiasaan buruk itu meskipun dia sendiri melakukannya. Dari sinilah awal bahwa orang tua gagal mengawal anaknya agar beranjak menjadi pribadi yang baik. Orang tua selalu menyalahkan anaknya apabila anaknya besar menjadi anak yang nakal, anak yang bandel. Orang tua tidak pernah mau introspeksi diri mengapa anak menjadi nakal, orang tua tidak mau bertanya pada dirinya sendiri mengapa anaknya tidak sesuai dengan keinginannya.
Untuk menumbuhkan kepribadian baik pada anak, orang tua juga harus memfasilitasi anaknya agar anak mendapatkan pendidikan agama. Pendidikan agama inilah yang akan menjadi tameng bagi anak agar anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang buruk. Pendidikan agama akan mengajarkan pada anak bagaimana cara bersikap yang baik, bagaimana cara hidup di dunia ini agar tidak menjadi seseorang yang tersesat. Apabila anak tidak mendapat pendidikan agama maka anak tidak akan mempunyai pedoman dasar dalam hidup. Karena sesungguhnya pendidikan agamalah yang mampu menjadi pondasi dasar bagi diri anak. Anak akan lebih berhati-hati dalam menjalankan hidup karena anak mengerti akan peraturan yang ada dalam agama. Anak tidak akan mau melawan aturan agama karena anak tahu bagaimana akibat jika ia melakukan pelanggaran terhadap peraturan agama. (Archie_)